Petualangan ke Cianjur bersama sahabat-sahabat Koloni Inspirasi

Di akhir tahun 2014, tepatnya tanggal 25 Desember 2014. Aku bersama sahabat-sahabatku dari Koloni Inspirasi berangkat pagi sekali menuju Cianjur. Perjalanan kami kali ini menuju pesantren Miftahul Falah.

Dari Ki-Ka: Irsan Asyari, Senda irawan, Monik, Mutia, Syamsa Hawa & Dewi Praptiwi

Dari Ki-Ka: Irsan Asyari, Senda irawan, Monik, Mutia, Syamsa Hawa & Dewi Praptiwi

Perjalanan kami mulai dari Sumber Artha, Bekasi Barat. Kami melewati rute Bekasi Selatan, melewati Narogong lurus terus menuju perempatan Transyogi. Di perempatan Transyogi kami belok kiri menuju arah Cilengsi. Berbekal catatan dan alamat di secarik kertas kami terus melanjutkan perjalanan.

Selama perjalanan, kami disuguhkan ragam pemandangan yang luar biasa. Di sisi kiri dan kanan jalan kami disuguhi pemandangan pegunungan dan sawah hijau. Tidak henti-hentinya kami mengagumi hamparan hijau yang indah. Beberapa daerah pun kami lewati dari mulai Cilengsi, Jonggol, Tanjung Sari hingga Cariu.

Sepanjang perjalanan, kami terus tertawa menghibur diri dengan cerita-cerita menarik sambil membayangkan santri-santri yang akan menyambut kami.

Sesampainya daerah kabupaten Cianjur, kami kemudian menepi sejenak di sebuah warung. Beberapa sahabatku menyempatkan diri untuk buang air kecil dan membeli oleh-oleh. Di sini, kami menemukan beberapa oleh-oleh yang menarik dari mulai kerupuk kulit, opak sampai tauco.

Salah seorang sahabat kami, Dewi Praptiwi mewanti-wanti kami untuk berhenti mencari tauco Cap Meong. Menurutnya tauco ini adalah tauco yang paling enak diantara semua tauco. Sayangnya merek yang dicari tidak ada, ibu dari anak bernama Bintang ini hanya mendapatkan tauco merek Cap Badak.

“Mbak, jangan-jangan ini sebenarnya bukan tauco. Tapi larutan penyegar rasa Tauco.” Celetukku sambil memecahkan keseriusan mereka.

Mendengar hal itu sontak saja mereka tertawa riuh….

Usai membeli oleh-oleh, aku kemudian bertanya pada sang pemilik warung tentang keberadaan pesantren Miftahul Falah. Engkau tahu sobat?

Akhirnya aku mendapatkan kepastian tempat, ibu penjaga warung menuturkan tempat yang kami maksud tidak terlalu jauh. Sebenarnya penjelasan ini tidak serta merta aku terima masalahnya aku selalu terima dengan persepsi dekat orang daerah. Dulu di Jogja, aku pernah bertanya tentang jarak antara candi ratu book dengan candi ijo. Orang Jogja bilang dekat, paling kalau jalan cuma setengah jam.

Kenyataannya tidak begitu saudara-saudara…. Pada kenyataan saat kami menggunakan motor dengan kecepatan 60 km/jam kami baru bisa mencapai lokasi lima belas menit kemudian. Jadi bisa kebayang dong, standar dekat mereka sebenarnya JAUH.

Kembali ke cerita perjalananku, kami akhirnya berbelok menuju wisata ziarah makam. Dari sini kami lurus terus, setiap dua kilometer perjalanan, kami bertanya pada warga sekitar. Beruntung salah seorang sahabatku, Irsan Asyari orang Sunda. Jadilah dia membantu kami bertanya alamat kepada para warga dengan bahasa Sunda.

Kami pun kembali mendapat harapan (palsu) tentang jarak menuju pesantren. Bagaimana tidak palsu, setiap dua kilometer berhenti dan bertanya kami selalu diberi iming-iming indah tentang jarak yang hanya dua kilometer.

Pada kenyataannya, jarak yang kami tempuh sebenarnya bukan dua kilometer melainkan ENAM KILOMETER. Well, sekali lagi aku diberi harapan palsu oleh warga desa sekitar.

Semakin ke dalam perjalanan menjadi tidak mudah, jurang tinggi nampak menganga di sebelah kami sedangkan jalan ditutupi oleh pohon-pohon yang tinggi. Karena rimbunnya pepohonan, cahaya mentari pun nampak sedikit enggan menunjukkan digdayanya. Jadilah kami melewati jalan-jalan yang gelap.

Di jalan ini, kami tidak menemui rumah warga. Dari hasil pantauanku ternyata jarak dari desa satu ke desa lainnya ternyata cukup jauh. Diantara jeda desa tidak ada rumah yang terlihat, yang ada hanya pepohonan dan sawah saja. Bangunan yang terlihat pun juga hanya pos siskamling yang sepi dan tidak bertujuan. Perjalanan ini mengingatkanku pada film Jalangkung 2, dimana para pemeran utamanya berpetualang mencari tempat sang Jalangkung.

Sesampainya di pesantren Miftahul Jannah, kami mulai lega, karena akhirnya kami bisa juga sampai di tempat ini. Meski begitu, semua tidak semudah seperti yang kami kira. Ketika kami akan naik ke atas, jalanan yang beralaskan tanah dalam keadaan basah. Mobil kami pun beberapa kali selip karena sulit naik ke atas. Tanpa sadar mobil sudah mulai berbelok ke arah kiri. Jantungku semakin berdegup kencang tatkala mobil mulai bergerak menuju bibir jurang. Engkau tahu sobat, sebelah kiriku terdapat jurang yang siap menyambut kami bila kami akhirnya terjatuh.

Dalam keadaan panik aku pun memberhentikan mobil. Aku minta semua sahabatku keluarku dari mobil dan minta tolong para santri untuk mendorong mobilku. Saat itu jantungku berdegup cepat sekali. Aku panik, melihat bagian belakang mobil yang sudah dekat dengan bibir jurang.

Beruntung pesantren yang kukunjungi ternyata adalah pesantren khusus ikhwan. Mereka dengan sigap langsung keluar dari pondok untuk membantu mendorong mobilku. Dengan segenap perjuagan, akhirnya mobilku sampai di atas dalam keadaan selamat.

Sesampainya di pesantren kami sempat terpaku melihat pesantren ini. Bagaimana tidak, pesantren ini nampak lengang. Hanya ada masjid, satu bangunan pondok dan satu bangunan kelas.

Aku masih belum menyangka tempat yang kukunjungi adalah pesantren. Bayanganku, pesantren itu terdiri dari banyak kelas dan pondok-pondok dimana terdapat banyak santri yang menuntut ilmu. Dalam hati, aku merasa iba melihat pesantren ini.

Sambil menunggu Pak Ustad, kami duduk-duduk sejenak menikmati sajian pemandangan di depan.

Pesantren ini pasti akan bagus bila dikelola dengan baik. Gumamku dalam hati.

Selang sepuluh menit kami menunggu, tiba-tiba saja datang seseorang dengan menggunakan motor. Dengan senyum mengembang orang tersebut menyapa kami. Perawakannya yang kurus, dengan kumis dan jambang tipis membuatku bertanya-tanya siapa orang yang menyambut kami.

Ibu penjaga pondok pesantren pun kemudian menjelaskan kalau orang di depanku ini adalah ustadz yang memimpin pesantren Miftahul Falah. Mendengar penjelasannya, aku kaget. Bayanganku pengurus pesantren ini adalah orang yang sudah sepuh dan lanjut usia. Ternyata usianya masih muda.

Senda di Masjid

            Sang ustadz kemudian bercerita tentang ihwal berdirinya pesantren ini. Dahulu sebenarnya pesantren ini sudah berdiri jauh sebelum dia datang, sayangnya pesantren ini akhirnya bangkrut karena tidak memiliki dana. Yah, pesantren yang menghasilkan para penghafal Al Qur’an ini harus menerima kenyataan kalau pesantren harus vakum.

Dalam keadaan bangkrut pengelola pesantren di Jakarta pun bertemu dengan Pesantren Entrepreneur di Bekasi. Dari perbincangan dengan pesantren ini, akhirnya mereka sepakat membangun kembali pesantren ini. Untuk tahap pertama, pesantren ini belajar dengan cara menumpang bangunan PAUD dan memanfaatkan masjid di sebelahnya.

Dari sini pelan-pelan gedung kelas pun dibangun. Gedung yang hanya ditutupi bata merah dan keramik ini nampak sederhana bila dibandingkan dengan gedung-gedung kelas di sekolah lainnya.

Meski keadaan minim, sang ustadz tidak menyerah, ia memiliki tekad untuk membangun pesantren ini menjadi pesantren lebih besar, walaupun hanya dengan bantuan empat orang pengajar.

Mendengar penjelasannya, aku merasa salut dengan dedikasinya yang besar untuk membangun pesantren ini. Bagaimana tidak, ustad yang menyambutku ini jauh-jauh dari Padang mendedikasikan hidupnya untuk menghidupkan pesantren ini. Sungguh sebuah dedikasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Satu cerita yang membuat saya semakin salut adalah saat sang ustad bercerita ketika ia harus meng-copy bahan ajar. Karena kampungnya jauh dari kota, sang ustad pun turun ke Depok untuk meng-copy bahan ajar. Aku tidak membayangkan betapa berat perjuangan sang ustad untuk turun ke gunung hanya untuk meng-copy bahan ajar.

Ah, sungguh mulia dirimu duhai ustad. Engkau dedikasikan banyak waktu hidupmu untuk membangun sebuah sekolah. Perjuanganmu menginspirasiku untuk melakukan hal yang sama suatu hari nanti….

Usai berbincang dengan ustad, kami pun sholat dzuhur di masjid dengan kubah berwarna emas. Masjid sederhana ini dikelilingi pemandangan indah, dimana ketika kita berdiri di halamannya, pemandangan pengunungan dan sawah menghijau nampak indah terlihat. Sawah-sawah nampak berjejer indah, seperti rangkaian tangga berwarna hijau. Sungguh pemandangan mahal yang tidak bisa ditemui di banyak tempat.

Selesai sholat kami pun menuju ruang kelas untuk memberi materi tentang “Mimpi.” Aku, Syamsa Hawa, Dewi Praptiwi dan Irsan Asyari didaulat menjadi pemateri tentang berjuang meraih “Mimpi.” Mutia Octaviana membantu memoderatori kami sedangkan adiknya Monik membantu dokumentasi acara kami.

Koloni Inspirasi

            Dari sini kami kemudian mulai berbicara satu per satu tentang mimpi dan bagaimana cara meraihnya. Saat itu santri-santri tampak antusias memperhatikan penjelasan kami. Meski tanpa slide, kami semua bisa melakukan banyak improvisasi. Ada keriangan yang kemudian tercipta saat kami menjelaskan tentang materi mimpi. Seorang santri asal Pemalang yang bernama Goni melakukan banyak kelucuan saat menjelaskan mimpinya.

“Saya ingin jadi Ustadz yang paling hebat di dunia, dimana semua orang bisa berdiri dibawah jempol saya.” Pernyataan aneh darinya ini sontak membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Kata-kata yang membingungkan ditambah dengan logat jawa ngapak-ngapak membuat perut kami sakit menahan kelucuan dan keluguannya.

Materi dua setengah jam pun nampak singkat dan cepat. Sebelum kelas selesai, kami pun menyempatkan berfoto bersama. Sponsor acara kami Majalah UMMI yang diwakili Syamsa Hawa membagi-bagikan majalah pada santri-santri.

Sebelum pulang, pihak pesantren membelikan kami makanan nasi bungkus. Karena lapar kami pun melahap makanan dengan cepat. Tak berhenti sampai di situ, kami pun disuguhi papaya yang baru saja dipetik. Pepaya dengan warna oranye mengkilat ini sungguh manis di mulut. Selama aku makan pepaya, belum pernah aku makan pepaya seenak ini.

Usai menyantap pepaya, suguhan pun berlanjut pada kelapa. Air kelapa yang tersaji di depan kami ini benar-benar air kelapa yang luar biasa. Rasanya seperti ada campuran soda di dalamnya. Sungguh menikmati air kelapa ini membuat energi kami kembali naik.

Air kelapa ini menutup hidangan kami, kami pun sholat Ashar dan kembali melanjutkan perjalanan pulang….

 

Senda Irawan | Book Writer | Author | Kontributor Writing Clinic Annida | Penulis Novel Pandora Sang Penggema Jiwa | Penulis Buku 88 Kiat Menjadi Penulis Hebat | Speaker | Founder Rumah Baca Cakrawala Indonesia | Founder Komunitas Baca Buku | twitter: @Sendrawan

Tinggalkan komentar